Coretan tinta hitam

Wednesday 7 October 2015

Aku, Kamu, Dia

Aku, Kamu, dan Dia

By; Irma putri syaepudin

Ini begitu salah tapi ini juga begitu benar untuk aku yang dilanda cintamu yang terus memenjaraku...  Cintamu yang akhirnya membunuhku.

   "Cie ... pasangan baru cie ...," ujar kak Iman yang asyik bermain game Hay day nya sesaat dia keluar dari gamenya saat melihat pasangan baru itu Widya dan Mus. Aku dongkol melihat mereka mengumbar kemesraan di hadapan kami. Mereka saling bertatap muka melempar senyum manis dan saling memuji keindahan wajah masing-masing, meskipun kantin kampus sedang penuh dengan mahasiswa dan mahasiswi yang hendak makan siang. Mereka tetap asyik saling suap-suapan mie ayam, sumpah hatiku hancur melihat Mus dan Widya, sejak lama aku menaruh perhatian pada Mus, aku menyukainya sejak kami masuk universitas ini sama-sama dia baik dan sangat setia kawan. Yah, setidaknya itu yang dia katakan padaku jika aku kawan terbaiknya, bahkan saat aku menyukainya aku enggan mengungkapkan perasaan itu karena takut menghancurkan persahabatan kami. Tapi saat aku mempunyai cukup kepercayaan diri untuk mengutarakan isi hatiku saat itulah aku melihatnya memeluk Widya di depan kampus saat istirahat membuat kegaduhan seluruh kampus. Aku benci dengan hatiku dengan diriku yang terlalu kikuk ssaat bersama-sama dengannya hingga susah untuk aku mengutarakan isi hatiku pada Mus.

"Siang-siang begini melamun enggak baik loh, ayam tetangga saya mati kemarin gegara kebanyakan melamun," Bu Kantin membuat semua lamunanku buyar, aku hanya tersenyum terpaksa, Mus dan Widya sama-sama melihatku dan menertawakan aku. Ingin rasanya aku marah tapi  aku memilih diam dan membuka layar tablet kesayangan membuka aplikasi game Hay day yang sering aku mainkan.

"Cie, mending kalian pacaran deh, iya kan sayang? Kak Iman dan Rima sangat cocok pacaran, lihat saja mereka menyukai game yang sama berlomba-lomba menjadi petani sukses, " ujar Mus sambil tertawa terbahak-bahak. Widya pun mengiyakan perkataan kekasihnya. Kak Iman berhenti menatap layar handphone nya lalu menimpali perkataan Mus, "Ah, kamu ini bisa saja Mus, jangan buat dia marah loh, " kata Kak Iman. Lalu mereka bertiga tertawa bersama, aku segera mengambil tas selempang yang sejak tadi kusimpan di bawah kursi.

"Permisi, aku pulang duluan, " ujarku sambil berlalu dari hadapan mereka, aku menyembunyikan kekesalan dan rasa sakit hatiku, mataku terasa panas dan mulai berair. Aku benci dengan diriku sendiri, betapa lemahnya aku hingga harus meneteskan air mata untuk orang sepertinya. Seenaknya saja dia menjodohkan aku dengan Kak Iman, memangnya siapa dia?! Aku mendengar suara Kak Iman memanggil namaku dan menyuruh berhenti.

"Rima, jangan marah ..., Mus hanya bercanda! Mau kemana biar aku antar kamu pulang, " ujarnya yang kini sudah berada di hadapanku, dia seorang yang jago dalam bidang olahraga apapun dia favorit para mahasiswi dan juga dosen. Dia pintar dan juga menyenangkan, dia lebih tua 1 tahun dariku, dan dia mahasiswa senior masih saudaranya Mus, dia dan Mus akrab sejak kecil itu yang aku tahu tentang Kak Iman.

"Rim, kamu nangis? Kenapa? Oh ayolah Mus hanya bercanda jangan dipakai hati, mari aku antar kamu pulang, " ujarnya lagi sambil meraih ytangan kananku, aku berhenti berjalan dan tetap menundukkan kepala,"Lepaskan tanganku Kak, aku menangis bukan karena Mus. Sudahlah Kak, aku ingin pulang pulang," ujarku sambil melepaskan genggaman tangannya.

"Kali ini saja Rim, izinkan aku mengantar kamu pulang, aku tau semuanya tentang kamu dan perasaan kamu pada Mus, " Kak Iman mencegat jalanku. Aku menatap mata Kak Iman berharap matanya bukan tatapan mata serius tapi yang kulihat memang sepertinya dia mengetahui semuanya bahkan tentang perasaan selama ini pada Mus. Akhirnya aku menurut pada Kak Iman, dia mengantarkan aku pulang dengan mobil Mazda birunya, selama perjalanan aku memilih diam dan menatap ke luar jendela mobil pikiran dan jiwaku melayang jauh entah kemana.

"Aku tau kamu menyukai Mus, yah dia memang tampan dan menarik, iya kan Rima? Tanyanya padaku, aku mengabaikan ucapannya.

"Hmm, sampai kapan kamu galau dan menyimpan segala kekesalanmu pada Mus. Kenapa tidak diungkapkan bahwa kamu menyukainya?" Ujar Kak Iman lagi.

"Aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk itu. Lagipula untuk apa aku mengutarakan perasaanku padanya, bukankah sudah terlambat toh dia sudah menjadi milik Widya, " ujarku sakratis. Kak Iman tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya. Sungguh mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna, pantas saja dia jadi mahasiswa favorit. Dia memang pantas mendapatkan julukan Arjuna kelas sastra di  kampus kami. Lalu di kelasku ada Mus yang mendapatkan julukan Arjuna kelas Ekonomi, sekarang ditambah lagi Widya yang yang jadi primadona dan pasangan si Arjuna ini. Sampai mereka dapat julukan the romeo and juliet. Mengingat Mus dan Widya hatiku hancur lagi, sampai aku tidak mendengar Kak Iman memanggil namaku. Lalu dia menepuk pundakku hingga terlonjak.

"Ayo turun, melamun terus ..., akan kuberi tahu tau cara melupakan Mus, "ujarnya. Dia turun dari mobilnya begitu juga denganku meskipun tidak tahu mau kemana. Dia membawaku ke tepi sebuah danau. Lalu dia merentangkan tangannya dan berteriak sekeras mungkin.

"Ayolah, coba kamu lakukan seperti aku tadi selepas mungkin . Lepaskan segala apa yang ada di dalam hatimu, " ujarnya. Aku diam, lalu Kak Iman menarik tangan kananku dan menyuruh melakukan hal yang sama seperti apa yang dia lakukan barusan. Aku pun menuruti ucapan Kak Iman, aku merentangkan kedua tanganku dan berteriak sekeras mungkin melepaskan segala keresahan yang ada di dalam hatiku. Kak Iman melihatku lalu tersenyum, "Terus Rim, buang segala rasa kesal yang ada di dalam hatimu, " ujarnya. Perasaanku terasa jauh lebih baik, aku terduduk di rumput tepi danau dan menangis tidak peduli Kak Iman menatapku, aku menangis sepuasnya.

"Kamu Buang -buang energi menangisinya." Ujar Kak Iman pandangannya jauh menatap air danau yang jernih.

"Aku tau, aku bodoh ..., aku lemah dan tidak populer seperti Widya. Aku tau aku ini tidak sesempurna Widya, " ujarku sambil terisak, segala rasa sesak dan sakit menggelayut di hatiku. Kak Iman tertawa kecil lalu melempar beberapa kerikil ke danau membuat air danau beriak.

"Makanya Mus lebih memilih Widya, dia cantik populer, juara karate, tentu saja Mus memilih dia, " perkataan Kak Iman membuat hatiku semakin dongkol, 'Apa-apaan itu' batinku. Kak Iman lalu duduk di sampingku, "Oleh karena itulah aku ingin berada terus di sampingmu. Karena kamu lemah aku ingin melindungimu, tidak peduli kamu populer atau tidak itu tidak penting buatku, " ujarnya membuat mataku terbulat lebar dan menghentikan tangisanku. Jantung terasa berdetak kencang dua kali lipat .

"Untuk apa sempurna, cinta itu ada untuk menyempurnakan. Untuk apa populer toh kita bukan artis yang selalu setiap detik diiringi paparazi. Sejak awal aku melihat kamu masuk universitas, hatiku sudah terpaut oleh keanggunanmu, kamu yang lugu bahkan aku tau kamu menyembunyikan perasaanmu pada Mus. Kamu seperti buku yang terbuka lebar mudah ditebak mudah dibaca apa yang ada di dalam hati kamu, " ujar Kak Iman lagi kini dia menatap mataku, mata kami bersirobok aku melihat cahaya ketulusan di bola mata cokelatnya.

"A-apa maksud Kaka? " ujarku terbata. Dia meraih kedua tanganku, "Dengar aku akan membuat kamu melupakanya, aku akan membantu kamu menghapus semua angan tentang Mus. Aku Iman nurhalim yang akan mencintaimu hidup dan mati, berikan aku kesempatan Rima, " ujarnya.

"T-tapi bagaimana caranya? " ujarku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar, hatiku terasa kalut. Jantungku berdebar melihat Kak Iman mendekati wajahku, sekilas namun berarti dia mencium keningku.

"Aku tidak akan memaksakan kehendak padamu. Hanya saja biarkan waktu yang akan menjawabnya, aku yakin kamu bisa berpaling padaku dan melupakannya. Rima, aku akan selalu menunggumu ," ucapnya.
Gelenyar rasa hangat dan nyaman menyelimuti seluruh hatiku, belum pernah aku merasa sehangat ini bersama seorang laki-laki, ini berbeda dengan perasaan saat aku berada bersama Mus. Ini perasaan yang jauh luar biasa, aku benar-benar merasa hangat dan nyaman. Aku menarik napas panjang dan menatap Kak Iman.

"Kalau begitu bantu aku melupakanya, sihir aku agar aku bisa berpaling padamu Kak, " ujarku membuat mata Kak Iman berbinar.

  "As your wish, " ucapnya sambil tersenyum manis dan menggenggam tanganku erat, hangat.







Kuningan, 07/10/2015


No comments:

Post a Comment