Coretan tinta hitam

Wednesday 18 May 2016

Manuk wik wik

Manuk Wik-wik

"Teteh ..., Teh Euis!" Ujang berlari-lari di pematang sawah, tidak peduli kakinya yang belepotan oleh tanah sawah yang becek. Napasnya tersengal-sengal tapi kabar yang harus disampaikan pada kakak perempuannya itu sangat penting. Euis yang sedang menjalankan pekerjaan 'ngarit' merasa terganggu lalu menoleh dilihatnya wajah sang adik begitu cemas.

"Aya naon, Jang?! Rusuh kitu?" ujar Euis menatap sang adik yang sedang mengatur napas akibat kecapekan berlari.

"Emak ..., Emak pingsan Teh. Ujang enggak tau kenapa, Ujang baru pulang sekolah, si Emak sudah dikerumuni warga." Euis menghentikan pekerjaanya, segera ia berlari menuju rumahnya. Karung dan sabit yang ia gunakan untuk 'ngarit' pun ia tinggalkan. Hatinya mendadak cemas pada Emak yang akhir-akhir ini kesehatanya memburuk, Ujang menyusul di belakangnya membawa barang-barang yang ditinggalkan Euis. Tidak berapa lama Euis sampai di rumahnya, terlihat mamang dan bibi sedang memberi minum Emak, Euis langsung menghambur ke pelukan Emak.

"Emak, kunaon emak teh geuning kieu. Bi kunon emak, Bi?" wajah cantik gadis berumur dua puluh tahun itu tampak khawatir dengan keadaan Emaknya. Bibi melirik Mang Soleh, lalu menarik tangan Euis ke dapur. Karena disana banyak tetangga, sepertinya yang akan disampaikan Bi Ning sangat rahasia dan penting.

"Aya naon atuh, Bi. Cerita saja sama Euis," ujar Euis menatap Bi Ning

"Euis, tadi sebelum emak pingsan. Bapak kamu teh datang marah-marah, minta uang sama emak. Tapi sama emak teu dibere, bapak kamu teh ...." Bi Ning menghela napas sebentar," Bapak kamu mau nikah lagi Euis. Sama janda di desa sebelah, sing sabar nya geulis," Euis mengepalkan tangannya kesal. Apa mau bapaknya itu. Padahal Emak sedang sakit, bapak malah membuat Emak tambah sakit. Euis benci pada bapaknya, kalau saja membunuh itu tidak dosa, ingin rasanya Euis membunuh bapaknya. Yang selalu menyakiti Emak, setiap hari hanya minum-minum dan berjudi. Lalu sekarang mau nikah lagi, Euis sangat benci pada bapaknya yang sebulan lalu hampir menjualnya pada lelaki hidung belang.

"Tadi sempet cekcok sama Mamang kamu. Tapi bapak kamu teh malah ngancam sama mamang sama bibi," ujar Bi Ning.

"Euis bener-bener benci sama bapak. Euis benci punya bapak seperti dia!" ujar Euis, tak terasa airmata menggenang di pelupuk matanya. Rasa sesak dan sakit di dadanya terasa menjadi-jadi. Belum sembuh lukanya sebulan lalu sekarang bertambah,

Seminggu berlalu, kesehatan Emak semakin memburuk. Setiap hari mengigau menyebut nama bapak Euis. Euis heran pada Emak, bapak begitu kejam dan sering menyakitinya namun, entah kenapa Emak sangat mencintai bapak. Emak tidak pernah menjelek-jelekan bapak di depan Ujang atau Euis, Emak juga tidak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci bapak.

"Euis ..., mana bapak? Euis geura teangan bapak," Emak bergumam. Bidan sudah dipanggil oleh Bi Ning tapi Emak menolak makan obat atau pun dirawat di rumah sakit. Emak terus-terusan memanggil bapak, perasaan Euis semakin tidak menentu, Euis takut kehilangan Emak.

"Wik-wik-wik-wik" suara burung diatas pohon randu di dekat rumah Euis. Orang-orang percaya jika ada burung  Wik-wik tanda jika rumah tersebut akan dirundung duka, akan ada salah satu kerabat atau anggota keluarga penghuni rumah yang meninggal. Hati Euis ketar-ketir, takut kehilangan Emak. Euis benci pada bapaknya, yang tidak pulang-pulang. Mang Soleh kesana-kemari mencari bapak, tapi tetap saja belum membuahkan hasil. Euis beranjak dari duduknya, mengambil batu di depan rumah dan melemparkannya ke arah burung Wik-wik. Burung Wik-wik terusik lalu terbang, Euis merasa burung itu mengejeknya. Euis kembali meraih batu-batu kerikil dan mengejar burung Wik-wik.

"Hush! Indit siah! Indit!" teriak Euis seperti kerasukan, bayangan masa lalu melintas di kepalanya saat bapak memukul Emak. Euis semakin murka, dilemparinya terus sang burung Wik-wik tidak peduli hujan yang deras jatuh membasahi bumi. Tidak peduli halilintar yang saling bersahutan menghiasi langit yang mencekam, angin kencang membuat pohon-pohon tidak tenang, Euis terus berlari tidak peduli suara Ujang dan Bi Ning yang mulai terdengar samar menyebut namanya, Euis benci bapak, Euis benci hidupnya.

"Indit! Indit siah!" Euis berkomat-kamit mengucapkan sumpah serapahnya, Euis sama sekali tidak peduli sebuah pohon besar tersambar petir dan tubang ke arahnya.

Duka menyelubungi keluarga Mak Ijah. Seminggu setelah meninggalnya Euis Prameswari akibat tertimpa pohon. Mak Ijah pun menghembuskan napas terakhirnya, Ujang kini sendirian. Emak tiada kakaknya pun sama, Ujang menangis tersedu-sedu di hadapan pusara Emak dan kakaknya, Mang Soleh dan Bi Ning disampingnya berusaha memberi secerah harapan dan motivasi pada  bocah berumur sepuluh tahun itu. Ujang ingat pesan terakhir Emak sebelum meninggal,"Jang ..., kalau suatu saat nanti bapak kamu pulang. Ulah dicarekan ku Ujang. Bagaimana pun juga dia teh tetep bapak Ujang sama teh Euis, kalau tidak ada bapak Ujang sama teteh tidak akan ada. Peupeujeuh kasep sing pinter, sing soleh, sing jadi jalma bener. Burung palung oge bapak hidep," nasehat emak terngiang di telinga Ujang.

Ujang mengakhiri solatnya dengan berdoa untuk almarhum Emak dan kakaknya  tidak lupa untuk bapaknya. Ujang dirawat oleh Bi Ning hingga sekarang sudah sarjana dan hidupnya lebih baik dengan menjadi insinyur pertanian.

"Jang, mau jenguk bapak lagi?" tanya Bi Ning saat Ujang berkemas rapi.

"Iya, Bi. Ujang teh pamit ya, Bi." Ujang mencium tangan Bi Ning. Bi Ning bangga pada anak angkatnya berkat kecerdasanya kini sudah jadi insinyur. Ujang melangkahkan kaki lalu menstater motornya menuju rumah sakit jiwa tempat bapaknya kini berada.

Kuningan,23 April 2016